Cadar : Mana Yang Sesuai
Ajaran Nabi, Wajib Atau Tidak ?
Ketika
ulama berfatwa bukan berarti tidak mengacu kepada Rasulullah SAW, sehingga
terkesan sebagian orang ingin meninggalkan fatwa ulama dan hanya mengacu kepada
Rasulullah SAW saja. Ini adalah pemahaman yang keliru tentang fatwa. Sebab
fatwa lahir dari ijtihad dan ijtihad itu adalah upaya sungguh-sungguh dari
seorang yang punya kapasitas terntentu dengan menggunakan metode yang teramat
ilmiyah untuk menyimpulkan hukum syariat Islam berdasarkan Al-Quran Al-Kariem
dan sunnah Rasulullah SAW.
Terkadang
ada keterangan dari Rasulullah SAW yang sifatnya jelas, tegas dan to the point,
maka kita tidak butuh lagi fatwa dan para ulama pun tidak perlu lagi
berijtihad. Semua orang cukup dengan sekali baca sebuah hadits atau ayat,
langsung saat itu juga tahu hukum suatu masalah. Dalam kasus-kasus yang telah
jelas dan terang dalilnya, kita tidak perlu lagi mengutak-atik hukumnya.
Namun ada
sekian banyak permasahalahan yang tidak ada dalilnya yang sharih, bahkan
terkadang hukumnya tersamar atau tidak disebutkan secara langsung atau tidak to
the point tentang suatu hal. Sehingga sangat besar kemungkinannya untuk
menimbulkan kesimpulan hukum yang berbeda antara satu orang dengan lainnya.
Misalnya
disebutkan bahwa dahulu Rasulullah SAW sering menggunakan tongkat bahkan
diriwayatkan ketika khutbah pun beliau tetap berpegangan pada tongkat. Tapi
apakah bisa disimpulkan bahwa memegang tongkat adalah bagian dari tata aturan
dalam khutbah ?.
Beliau sendiri
tidak secara ekspilisit menyebutkan kepada ummat bahwa bila kalian mau khutbah
haruslah membawa tongkat. Nah, pada titik inilah biasanya orang berbeda
pendapat dalam menyimpulkan sebuah hukum. Apalah tongkat itu bagian dari aturan
berkhutbah ataukah secara kebetulan Rasulullah SAW membutuhkan tongkat untuk
menopang tubuhnya, terutama di masa lanjut usianya.
Tidak
jarang dalil-dalil itu bukannya tidak ada, melainkan seakan satu sama lain
saling bertentangan. Dan kasus ini bukan hanya dalam satu dua kasus, melainkan
ada banyak kasus yang demikian..
Yang
menarik, kerepotan dalam mengambil kesimpulan hukum ini bukan hanya dialami
oleh kita di masa sekarang ini saja. Bahkan dahulu para shahabat sendiri pun
pernah mengalami hal yang sama. Meski bunyi petunjuk dari Rasulullah SAW sama,
namun mereka memahaminya dengan cara yang berbeda. Seperti kasus shalat ashar
di perkambungan Bani Quraidhah yang terkenal itu.
Maka untuk
bisa memahami hukum yang terkadung dalam sebuah dalil, diperlukan metode
analisa yang tajam, aktual dan terpercaya. Yang mempu melakukannya tentu
orang-orang yang punya kapasitas terutama dari sisi kafaah syar`iyah. Dan
kegiatan ini disebut dengan ijtihad dan hasilnya adalah fatwa para ulama. Kalau
antara satu fatwa dengan yang lainnya tidak sesuai benar, tugas kita adalah
meneliti kembali manakala diantara fatwa-fatwa itu yang ditunjang dengan dasar
yang lebih kuat. Bukannya kembali kepada Rasulullah SAW, sebab semua pun sedang
berusaha kembali kepada Rasulullah SAW. Tapi manakah yang paling bisa diterima
hujjahnya dalam rangka kembali kepada Rasulullah SAW.
Dan anda
tidak perlu bingung berhadapan dengan banyak fatwa yang berbeda itu, silahkan
lihat dasar pijakannya dan bandingkan antara satu dan lainnya. Yang paling kuat
menurut anda itulah yang bisa anda pilih. Dan salah satu indikator yang paling
kuat adalah yang dipegang oleh jumhur ulama, meski bukan satu-satunya
indikator.
Fatwa
Tentang Cadar Dan Hujjahnya
Masalah kewajiban memakai cadar sebenarnya tidak disepakati oleh para ulama. Maka
wajarlah bila kita sering mendapati adanya sebagian ulama yang mewajibkannya
dengan didukung dengan sederet dalil dan hujjah. Namun kita juga tidak asing
dengan pendapat yang mengatakan bahwa cadar itu bukanlah kewajiban. Pendapat
yang kedua ini pun biasanya diikuti dengan sederet dalil dan hujjah juga.
Dalam
kajian ini, marilah kita telusuri masing-masing pendapat itu dan dengan dalil
dan hujjah yang mereka ajukan. Sehingga kita bisa memiliki wawasan dalam
memasuki wilayah ini secara bashirah dan wa'yu yang sepenuhnya. Tujuannya bukan
mencari titik perbedaan dan berselisih pendapat, melainkan untuk memberikan
gambaran yang lengkap tentang dasar isitimbath
kedua pendapat ini agar kita bisa berbaik sangka dan tetap menjaga hubungan
baik dengan kedua belah pihak.
1.
Kalangan Yang Mewajibkan Cadar
Mereka yang mewajibkan setiap wanita untuk menutup muka (memakai niqab) berangkat dari pendapat bahwa wajah itu bagian
dari aurat wanita yang wajib ditutup dan haram dilihat oleh lain jenis non
mahram.
Dalil-dalil
yang mereka kemukakan antara lain :
a. Surat Al-Ahzab : 59
"Hai
Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan
isteri-isteri orang mu'min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Ahzah : 59)
Ayat ini
adalah ayat yang paling utama dan paling sering dikemukakan oleh pendukung
wajibnya niqab. Mereka mengutip pendapat para mufassirin terhadap ayat ini
bahwa Allah mewajibkan para wanita untuk menjulurkan jilbabnya keseluruh tubuh
mereka termasuk kepala, muka dan semuanya, kecuali satu mata untuk melihat.
Riwayat ini dikutip dari pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Mas`ud, Ubaidah As-Salmani
dan lainnya, meskipun tidak ada kesepakatan diantara mereka tentang makna
'jilbab' dan makna 'menjulurkan'.
Namun bila
diteliti lebih jauh, ada ketidak-konsistenan nukilan pendapat dari Ibnu Abbas
tentang wajibnya niqab. Karena dalam tafsir di surat An-Nuur yang berbunyi (kecuali yang
zahir darinya), Ibnu Abbas justru berpendapat sebaliknya.
Para ulama yang tidak
mewajibkan niqab mengatakan bahwa ayat ini sama sekali tidak bicara tentang
wajibnya menutup muka bagi wanita, baik secara bahasa maupun secara `urf (kebiasaan). Karena yang diperintahkan justru
menjulurkan kain ke dadanya, bukan ke mukanya. Dan tidak ditemukan ayat lainnya
yang memerintahkan untuk menutup wajah.
b. Surat An-Nuur : 31
"Katakanlah
kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang nampak
dari padanya." (QS. An-Nur : 31).
Menurut
mereka dengan mengutip riwayat pendapat dari Ibnu Mas`ud bahwa yang dimaksud
perhiasan yang tidak boleh ditampakkan adalah wajah, karena wajah adalah pusat
dari kecantikan. Sedangkan yang dimaksud dengan `yang biasa nampak` bukanlah
wajah, melainkan selendang dan baju.
Namun
riwayat ini berbeda dengan riwayat yang shahih dari para shahabat termasuk
riwayat Ibnu Mas`ud sendiri, Aisyah, Ibnu Umar, Anas dan lainnya dari kalangan
tabi`in bahwa yang dimaksud dengan 'yang biasa nampak darinya' bukanlah wajah,
tetapi al-kuhl (celak mata) dan cincin. Riwayat
ini menurut Ibnu Hazm adalah riwayat yang paling shahih.
c. Surat Al-Ahzab : 53
"Apabila
kamu meminta sesuatu kepada mereka , maka mintalah dari belakang tabir. Cara
yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu
menyakiti Rasulullah dan tidak mengawini isteri-isterinya selama-lamanya
sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar di sisi
Allah."(QS. Al-Ahzab : 53)
Para pendukung kewajiban
niqab juga menggunakan ayat ini untuk menguatkan pendapat bahwa wanita wajib
menutup wajah mereka dan bahwa wajah termasuk bagian dari aurat wanita. Mereka
mengatakan bahwa meski khitab ayat ini kepada istri Nabi, namun kewajibannya
juga terkena kepada semua wanita mukminah, karena para istri Nabi itu adalah
teladan dan contoh yang harus diikuti.
Selain itu
bahwa mengenakan niqab itu alasannya adalah untuk menjaga kesucian hati, baik
bagi laki-laki yang melihat ataupun buat para istri nabi. Sesuai dengan firman
Allah dalam ayat ini bahwa cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan
hati mereka (istri nabi).
Namun bila
disimak lebih mendalam, ayat ini tidak berbicara masalah kesucian hati yang
terkait dengan zina mata antara para shahabat Rasulullah SAW dengan para istri
beliau. Kesucian hati ini kaitannya dengan perasaan dan pikiran mereka yang
ingin menikahi para istri nabi nanti setelah beliau wafat. Dalam ayat itu
sendiri dijelaskan agar mereka jangan menyakiti hati nabi dengan mengawini para
janda istri Rasulullah SAW sepeninggalnya. Ini sejalan dengan asbabun nuzul
ayat ini yang menceritakan bahwa ada shahabat yang ingin menikahi Aisyah ra
bila kelak Nabi wafat. Ini tentu sangat menyakitkan perasaan nabi.
Adapun
makna kesucian hati itu bila dikaitkan dengan zina mata antara shahabat nabi
dengan istri beliau adalah penafsiran yang terlalu jauh dan tidak sesuai dengan
konteks dan kesucian para shahabat nabi yang agung.
Sedangkan
perintah untuk meminta dari balik tabir, jelas-jelas merupakan kekhususan dalam
bermuamalah dengan para istri Nabi. Tidak ada kaitannya dengan 'al-Ibratu bi
`umumil lafzi laa bi khushushil ayah'. Karena ayat ini memang khusus
membicarakan akhlaq pergaulan dengan istri nabi. Dan mengqiyaskan antara para
istri nabi dengan seluruh wanita muslimah adalah qiyas yang tidak tepat, qiyas
ma`al fariq. Karena para istri nabi memang memiliki standart akhlaq yang
khusus. Ini ditegaskan dalam ayat Al-Quran.
"Hai
isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu
bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah
orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik,"
(QS. Al-ahzab : 32)
d.
Hadits Larang Berniqab bagi Wanita Muhrim
Para
pendukung kewajiban menutup wajah bagi muslimah menggunakan sebuah hadits yang
diambil mafhum mukhalafanya, yaitu larangan Rasulullah SAW bagi muslimah untuk
menutup wajah ketika ihram.
"Janganlah
wanita yang sedang berihram menutup wajahnya (berniqab) dan memakai sarung
tangan".
Dengan
adanya larangan ini, menurut mereka lazimnya para wanita itu memakai niqab dan
menutup wajahnya, kecuali saat berihram. Sehingga perlu bagi Rasulullah SAW
untuk secara khusus melarang mereka. Seandainya setiap harinya mereka tidak
memakai niqab, maka tidak mungkin beliau melarangnya saat berihram.
Pendapat
ini dijawab oleh mereka yang tidak mewajibkan niqab dengan logika sebaliknya.
Yaitu bahwa saat ihram, seseorang memang dilarang untuk melakukan sesuatu yang
tadinya halal. Seperti memakai pakaian yang berjahit, memakai parfum dan
berburu. Lalu saat berihram, semua yang halal tadi menjadi haram. Kalau logika ini
diterapkan dalam niqab, seharusnya memakai niqab itu hukumnya hanya sampai
boleh dan bukan wajib. Karena semua larangan dalam ihram itu hukum asalnya pun
boleh dan bukan wajib. Bagaimana bisa sampai pada kesimpulan bahwa sebelumnya
hukumnya wajib ?
Bahwa ada
sebagian wanita yang di masa itu menggunakan penutup wajah, memang diakui. Tapi
masalahnya menutup wajah itu bukanlah kewajiban. Dan ini adalah logika yang
lebih tepat.
e.
Hadits bahwa Wanita itu Aurat
Diriwayatkan oleh At-Tirmizy marfu`an bahwa,
"Wanita
itu adalah aurat, bila dia keluar rumah, maka syetan menaikinya".
Menurut
At-turmuzi hadis ini kedudukannya hasan shahih. Oleh para pendukung pendapat
ini maka seluruh tubuh wanita itu adalah aurat, termasuk wajah, tangan, kaki
dan semua bagian tubuhnya. Pendapat ini juga dikemukakan oleh sebagian pengikut
Asy-Syafi`iyyah dan Al-Hanabilah.
f.
Mendhaifkan Hadits Asma`
Mereka juga mengkritik hadits Asma` binti Abu Bakar yang berisi bahwa,
"Seorang wanita yang sudah hadih itu tidak boleh nampak bagian tubuhnya
kecuali ini dan ini" Sambil beliau memegang wajah dan tapak tangannya.
2.
Kalangan Yang Tidak Mewajibkan Cadar
Sedangkan mereka yang tidak mewajibkan cadar berpendapat bahwa wajah bukan
termasuk aurat wanita. Mereka juga menggunakan banyak dalil serta mengutip
pendapat dari para imam mazhab yang empat dan juga pendapat salaf dari para
shahabat Rasulullah SAW.
a. Ijma'
Shahabat
Para shahabat Rasulullah SAW sepakat mengatakan bahwa wajah dan tapak tangan
wanita bukan termasuk aurat. Ini adalah riwayat yang paling kuat tentang
masalah batas aurat wanita.
b.
Pendapat Para Fuqoha Bahwa Wajah Bukan
Termasuk Aurat Wanita.
Al-Hanafiyah mengatakan tidak dibenarkan melihat wanita ajnabi yang merdeka
kecuali wajah dan tapak tangan. (lihat Kitab Al-Ikhtiyar).
Bahkan Imam Abu Hanifah ra. sendiri mengatakan yang termasuk bukan aurat adalah
wajah, tapak tangan dan kaki, karena kami adalah sebuah kedaruratan yang tidak
bisa dihindarkan.
Al-Malikiyah
dalam kitab 'Asy-Syarhu As-Shaghir' atau sering
disebut kitab Aqrabul Masalik ilaa Mazhabi Maalik, susunan Ad-Dardiri
dituliskan bahwa batas aurat wanita merdeka dengan laki-laki ajnabi (yang bukan
mahram) adalah seluruh badan kecuali muka dan tapak tangan. Keduanya itu bukan
termasuk aurat.
Asy-Syafi`iyyah
dalam pendapat As-Syairazi dalam kitabnya 'al-Muhazzab',
kitab di kalangan mazhab ini mengatakan bahwa wanita merdeka itu seluruh
badannya adalah aurat kecuali wajah dan tapak tangan.
Dalam
mazhab Al-Hanabilah kita dapati Ibnu Qudamah berkata kitab Al-Mughni 1 :
1-6,"Mazhab tidak berbeda pendapat bahwa seorang wanita boleh membuka
wajah dan tapak tangannya di dalam shalat
Daud yang
mewakili kalangan zahiri pun sepakat bahwa batas aurat wanita adalah seluruh
tubuh kecuali muka dan tapak tangan. Sebagaimana yang disebutkan dalam Nailur
Authar. Begitu juga dengan Ibnu Hazm mengecualikan wajah dan tapak tangan
sebagaiman tertulis dalam kitab Al-Muhalla.
c.
Pendapat Para Mufassirin
Para mufassirin yang terkenal pun banyak yang mengatakan bahwa batas aurat
wanita itu adalah seluruh tubuh kecuali muka dan tapak tangan. Mereka antara
lain At-Thabari, Al-Qurthubi, Ar-Razy, Al-Baidhawi dan lainnya. Pendapat ini
sekaligus juga mewakili pendapat jumhur ulama.
d.
Dhai'ifnya Hadits Asma Dikuatkan Oleh Hadits Lainnya
Adapun hadits Asma` binti Abu Bakar yang dianggap dhaif, ternyata tidak berdiri
sendiri, karena ada qarinah yang menguatkan melalui riwayat Asma` binti Umais
yang menguatkan hadits tersebut. Sehingga ulama modern sekelas Nasiruddin
Al-Bani sekalipun meng-hasankan hadits tersebut sebagaimana tulisan beliau
'hijab wanita muslimah', 'Al-Irwa`, shahih Jamius Shaghir dan `Takhrij Halal
dan Haram`.
e.
Perintah Kepada Laki-laki Untuk Menundukkan Pandangan.
Allah SWt telah memerintahkan kepada laki-laki untuk menundukkan pandangan (ghadhdhul bashar). Hal itu karena para wanita muslimah
memang tidak diwajibkan untuk menutup wajah mereka.
"Katakanlah
kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci
bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat(QS. An-Nuur : 30)
Dalam
hadits Rasulullah SAW kepada Ali ra. disebutkan bahwa,
Jangan
lah kamu mengikuti pandangan pertama (kepada wanita) dengan pandangan
berikutnya. Karena yang pertama itu untukmu dan yang kedua adalah ancaman /
dosa". (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmizy dan Hakim).
Bila para
wanita sudah menutup wajah, buat apalagi perintah menundukkan pandangan kepada
laki-laki. Perintah itu menjadi tidak relevan lagi.
Hadaanallahu
Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,